Realitas sosial yang sangat mengerikan yang sedang dihadapi bangsa ini adalah korupsi yang semakin menjadi-jadi. Korupsi sudah begitu kuat merasuki kehidupan sebagian masyarakat kita.
Setiap hari kita disuguhi rupa-rupa kasus korupsi. Rasanya tiada hari tanpa berita korupsi.
“Kolonialisme korupsi” semakin dalam menancapkan kukunya di semua lini birokrasi di negeri ini. Oleh karenanya, jangan heran kalau negara kita termasuk negara yang paling korup di dunia. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) yang dirilis Transparency International (TI) pada 2011 yang lalu menegaskan hal itu.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 183 negara di dunia, Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0.
Angka indeks menunjukkan seberapa besar potensi korupsi di suatu negara. Semakin kecil angka indeksnya menunjukkan potensi korupsi negara tersebut semakin besar. Berdasarkan hasil survei Freedom Barometer Asia 2011, Indonesia menduduki ranking keenam negara terkorup dengan total nilai merah 58,52. Di level Asia Pasifik, perusahaan konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling hebat korupsinya.
Begitu maraknya korupsi di republik ini, menyisakan sejumlah tanya. Sudah matikah rasa keadilan sosial, rasa solidaritas terhadap sesama warga dalam memperjuangkan kesejahteraan bersama? Sudah matikah rasa tanggung jawab politik, rasa keadilan sosial demi kesejahteraan umum? Kalau belum, mengapa politik lebih kuat berorientasi pada kekuasaan? Mengapa politik dijadikan kendaraan menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok melalui perbuatan-perbuatan koruptif yang menyengsarakan? Bukankah dasar moralitas kehidupan politik adalah demi kesejahteraan bersama, bukannya untuk membuncitkan perut oknum-oknum tertentu?
Di tengah mengguritanya korupsi yang merupakan kejahatan kemanusiaan paling keji itu, pemerintah mestinya memfokuskan perhatian dan menghimpun segala kekuatannya untuk memerangi perbuatan laknat yang menyengsarakan itu. Tapi aneh bin ajaib, pemerintah malah sibuk mengurusi gejolak nafsu syahwat warga negerinya dengan membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi.
Tak tanggung-tanggung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 25 Tahun 2012 yang diteken pada 2 Maret 2012 lalu, menugasi enam menteri untuk menjalankan gugus tugas tersebut. Satuan tugas tersebut dipimpin Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, dengan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai ketua harian.
Tak mau kalah dengan pemerintah dalam mengurus nafsu syahwat warga negerinya, pimpinan DPR pun berencana merevisi tata tertib anggota parlemen dan pengunjung kompleks DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Senayan. Salah satu klausul yang diusulkan adalah pengaturan tata busana bagi anggota DPR. Rok mini yang dinilai tak pantas dikenakan perempuan di gedung wakil rakyat akan dilarang. “Kami belajar dari maraknya kasus pemerkosaan akibat perempuan yang berpakaian tak pantas,” kata Ketua DPR Marzuki Alie.
Pertanyaan reflektif-substansialnya adalah sungguhkah maraknya kasus pemerkosaan di tanah air belakangan ini dipicu oleh pakaian perempuan yang kurang pantas (baca: memakai rok mini)? Sudah sedemikian parahkah persoalan nafsu syahwat di negeri ini sehingga pemerintah dan DPR begitu bernafsu mengurusnya? Bila alasannya karena maraknya peredaran video mesum (porno), bukankah itu menjadi tugas polisi sehingga diatasi dengan mengaktifkan kerja polisi? Bila pemerkosaan wanita di dalam angkot yang menjadi isu, bukankah itu soal keamanan transportasi?
Di tengah mengguritanya korupsi di negeri ini, mengapa pemerintah dan DPR malah begitu bergairah mengatur gejolak libido warga negeri? Ataukah korupsi sudah dianggap biasa di negeri ini sehingga tak perlu dibasmi? Ataukah korupsi dianggap wajar, jika tak korupsi malah alergi? Efektifkah kebijakan Presiden SBY membentuk Satgas Antipornografi untuk mengurangi kejahatan seksual dan pornografi?
Pengalaman membuktikan pornografi tak akan pernah mati dalam perjalanan sejarah umat manusia. Ini disebabkan pornografi terkait erat (inheren) dengan naluri dasar manusia.
Perlu waktu panjang dan melibatkan banyak kalangan macam lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga kebudayaan, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, kaum cerdik cendekia untuk menekan kejahatan seksual dan pornografi.
Melihat fakta empiris semakin banyak politikus, pejabat, dan birokrat di negeri ini melakukan tindak korupsi dan masuk bui akibat syahwat korupsi yang tak terkendali, memompa semangat, menghunus pedang untuk menebas dan membasmi korupsi adalah pilihan bijak dan urgen ketimbang mengurus soal libido dan rok mini anak negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar